Jerome Bruner,
seorang ahli psikologi dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, telah
mempelajari bagaimana manusia memperoleh pengetahuan, menyimpan pengetahuan,
dan mentransformasi pengetahuan. Menurut Bruner, belajar merupakan suatu proses
aktif yang memungkinkan manusia untuk menemukan hal-hal baru di luar informasi
yang diberikan kepada dirinya.
Sebagai contoh, seseorang siswa yang mempelajari
bilangan prima akan bisa menemukan berbagai hal penting dan menarik tentang
bilangan prima, sekalipun pada awal guru hanya memberikan
sedikit informasi tentang bilangan prima kepada siswa tersebut. Teori Bruner
tentang kegiatan belajar manusia tidak terkait dengan umur atau tahap
perkembangan (berbeda dengan Teori Piaget).
Ada dua bagian
yang penting dari Teori Bruner, yaitu:
1. Tahap-tahap
dalam proses belajar
Menurut Bruner, jika
seseorang mempelajari sesuatu pengetahuan (misalnya suatu konsep matematika),
pengetahuan itu perlu dipalajari dalam tahap-tahap tertentu agar pengetahuan
itu dapat diinternalisasi dalam pikiran (struktur kognitif) orang tersebut.
Proses internalisasi akan terjadi secara sungguh-sungguh (yang berarti proses
belajar terjadi secara optimal) jika pengetahuan yang dipelajari itu dipelajari
dalam tiga tahap yang macamnya dan urutannya adalah sebagai berikut.
a. Tahap enaktif,
yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di mana pengetahuan itu
dipelajari secara aktif, dengan menggunakan benda-benda konkrit atau
menggunakan situasi yang nyata.
b. Tahap ikonik,
yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di mana pengetahuan itu
direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual (visual
imagery), gambar, atau diagram, yang menggambarkan kegiatan
konkrit atau situasi konkrit yang terdapat pada tahap enaktif tersebut di atas
(butir a).
c. Tahap simbolik,
yaitu suatu tahap pembelajaran di mana pengetahuan itu direpresentasikan dalam
bentuk simbol-simbol abstrak (abstract symbols, yaitu simbol-simbol
arbiter yang dipakai berdasarkan kesepakatan orang-orang dalam bidang yang
bersangkutan), baik simbol-simbol verbal (misalnya huruf-huruf, kata-kata,
kalimat-kalimat), lambang-lambang matematika, maupun lambang-lambang abstrak
yang lain.
Menurut Bruner, proses
belajar akan berlangsung secara optimal jika proses pembelajaran diawali dengan
tahap enaktif, dan kemudian, jika tahap belajar yang pertama ini
telah dirasa cukup, siswa beralih ke kegiatan belajar tahap kedua,
yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus representasi ikonik; dan
selanjutnya, kegiatan belajar itu diteruskan dengan kegiatan belajar tahap
ketiga, yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus representasi simbolik.
Sebagai contoh, dalam mempelajari penjumlahan dua bilangan cacah, pembelajaran
akan terjadi secara optimal jika mula-mula siswa mempelajari hal itu dengan
menggunakan benda-benda konkrit (misalnya menggabungkan 3 kelereng dengan 2
kelereng, dan kemudian menghitung banyaknya kelereng semuanya). Kemudian,
kegiatan belajar dilanjutkan dengan menggunakan gambar atau diagram yang
mewakili 3 kelereng dan 2 kelereng yang digabungkan tersebut (dan kemudian
dihitung banyaknya kelereng semuanya, dengan menggunakan gambar atau diagram
tersebut). Pada tahap yang kedua siswa bias melakukan penjumlahan
itu dengan menggunakan pembayangan visual (visual imagery) dari
kelereng, kelereng tersebut. Pada tahap berikutnya, siswa melakukan penjumlahan
kedua bilangan itu dengan menggunakan lambang-lambang bilangan, yaitu : 3 + 2 =
5.
Di SMP, dalam
mempelajari irisan dua himpunan, siswa dapat mempelajari konsep tersebut dengan
mula-mula menggunakan contoh nyata (konkret), misalnya dengan mengumpulkan data
tentang siswa-siswa yang pergi ke sekolah dengan naik sepeda dan siswa-siswa
yang menyukai olahraga bola basket. Kemudian menentukan siswa-siswa yang pergi
ke sekolah dengan naik sepeda dan menyukai olahraga bola basket. Keadaan itu
kemudian digambarkan dengan diagram Venn. Selanjutnya, irisan dua himpunan
dapat didefinisikan secara simbolik, baik dengan lambang-lambang verbal maupun
dengan lambang-lambang matematika (dalam hal ini notasi pembentukan himpunan).
Discovery learning dari Jerome
Bruner, merupakan model pengajaran yang dikembangkan berdasarkan pada pandangan
kognitif tentang pembelajaran dan prinsip-prinsip konstruktivis. Di dalam discovery
learning siswa didorong untuk belajar sendiri secara mandiri. Siswa
belajar melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip
dalam memecahkan masalah, dan guru mendorong siswa untuk mendapatkan pengalaman
dengan melakukan kegiatan yang memungkinkan siswa menemukan prinsip-prinsip
untuk diri mereka sendiri. Pembelajaran ini membangkitkan keingintahuan siswa,
memotivasi siswa untuk bekerja sampai menemukan jawabannya. Siswa belajar
memecahkan masalah secara mandiri dengan keterampilan berpikir sebab mereka
harus menganalisis dan memanipulasi informasi.
Pembelajaran menurut
Bruner adalah siswa belajar melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan
prinsip-prinsip dalam memecahkan masalah dan guru berfungsi sebagai motivator
bagi siswa dalam mendapatkan pengalaman yang memungkinkan mereka menemukan dan
memecahkan masalah.
2. Teorema tentang cara
belajar dan mengajar matematika
Berdasarkan hasil-hasil
eksperimen dan observasi yang dilakukan oleh Bruner dan Kenney, pada tahun 1963
kedua pakar tersebut mengemukakan empat prinsip tentang cara belajar dan
mengajar matematika yang masing-masing mereka sebut sebagai ‘teorema’. Keempat teorema
tersebut adalah:
a. Teorema Konstruksi (Construction Theorem)
Di dalam teorema
konstruksi dikatakan bahwa cara yang terbaik bagi seseorang siswa untuk
mempelajari sesuatu konsep atau prinsip dalam matematika adalah dengan
mengkonstruksi sebuah representasi dari konsep atau prinsip tersebut. Siswa
yang lebih dewasa mungkin bisa memahami sesuatu konsep atau sesuatu prinsip
dalam matematika hanya dengan menganalisis sebuah representasi yang disajikan
oleh guru mereka; akan tetapi, untuk kebanyakkan siswa. khususnya untuk siswa
yang lebih muda, proses belajar akan lebih baik jika para siswa mengkonstruksi
sendiri representasi dari apa yang dipelajari tersebut. Alasannya, jika para
siswa bisa mengkonstruksi sendiri representasi tersebut mereka akan lebih mudah
menemukan sendiri konsep atau prinsip yang terkandung dalam representasi
tersebut, sehingga untuk selanjutnya mereka juga mudah untuk mengingat hal-hal
tersebut dan dapat mengaplikasikannya dalam situasi-situasi yang sesuai.
Seperti yang diuraikan pada penjelasan tentang modus-modus representasi, akan
lebih baik jika para siswa mula-mula menggunakan representasi konkrit yang
memungkinkan siswa untuk aktif, tidak hanya aktif secara intelektual (mental)
tetapi juga secara fisik.
b. Teorema Notasi (Notation Theorem)
Menurut apa yang
dikatakan dalam teorema notasi, representasi dari sesuatu materi matematika
akan lebih mudah dipahami oleh siswa apabila di dalam representasi itu
digunakan notasi yang sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa.
Sebagai contoh, untuk siswa sekolah dasar, yang pada umumnya masih berada pada
tahap operasi konkrit, soal yang berbunyi : “Tentukanlah sebuah bilangan yang
jika ditambah 3 akan menjadi 8”, akan lebih sesuai jika direpresentasikan dalam
bentuk … + 3=8; sedangkan untuk siswa SMP, yang tingkat perkembangannya sudah
lebih matang, soal tersebut akan lebih sesuai jika direpresentasikan dalam
bentuk : x + 3 = 8.
Penggunaan notasi yang
tepat akan mempermudah ditemukannya penyelesaian untuk berbagai macam soal,
mempermudah ditemukannya berbagai prinsip matematika, dan juga mempermudah
pengembangan berbagai konsep, prinsip, dan prosedur dalam matematika.
c. Teorema Kekontrasan dan Variasi (Contrast and Variation Theorem)
Di dalam teorema
kekonstrasan dan variasi dikemukakan bahwa sesuatu konsep matematika akan lebih
mudah dipahami oleh siswa apabila konsep itu dikontraskan dengan konsep-konsep
yang lain, sehingga perbedaan antara konsep itu dengan
konsep-konsep yang lain menjadi jelas. Sebagai contoh, pemahaman
siswa tentang konsep bilangan prima akan menjadi lebih baik bila bilangan prima
dibandingkan dengan bilangan yang bukan prima, sehingga perbedaan antara
bilangan prima dengan bilangan yang bukan prima, menjadi jelas. Demikian pula,
pemahaman siswa tentang konsep persegi dalam geometri akan menjadi lebih baik
jika konsep persegi dibandingkan dengan konsep-konsep geometri yang lain,
misalnya persegipanjang, jajarangenjang, belahketupat, dan lain-lain. Dengan
membandingkan konsep yang satu dengan konsep yang lain, perbedaan dan hubungan
(jika ada) antara konsep yang satu dengan konsep yang lain menjadi jelas.
Sebagai contoh, dengan membandingkan konsep persegi dengan konsep
persegipanjang akan menjadi jelas bahwa persegi merupakan kejadian khusus (a
special case) dari persegipanjang, artinya: setiap persegi tentu merupakan
persegipanjang, sedangkan suatu persegipanjang belum tentu merupakan persegi.
Selain itu di dalam
teorema ini juga disebutkan bahwa pemahaman siswa tentang sesuatu konsep
matematika juga akan menjadi lebih baik apabila konsep itu dijelaskan dengan
menggunakan berbagai contoh yang bervariasi. Misalnya, dalam pembelajaran
konsep persegipanjang, persegipanjang sebaiknya ditampilkan dengan berbagai
contoh yang bervariasi. Misalnya ada persegipanjang yang posisinya bervariasi
(ada yang dua sisinya yang berhadapan terletak horisontal dan dua sisi yang
lain vertikal, ada yang posisinya miring, dan sebagainya), ada
persegipanjang yang perbedaan panjang dan lebarnya begitu mencolok, dan ada
persegipanjang yang panjang dan lebarnya hampir sama, bahkan ada persegipanjang
yang panjang dan lebarnya sama.
Dengan digunakannya
contoh-contoh yang bervariasi tersebut, sifat-sifat atau ciri-ciri dari
persegipanjang akan dapat dipahami dengan baik. Dari berbagai contoh tersebut
siswa akan bisa memahami bahwa sesuatu konsep bisa direpresntasikan dengan
berbagai contoh yang spesifik. Sekalipun contoh-contoh yang spesifik
tersebut mengandung perbedaan yang satu dengan yang lain, semua contoh (semua kasus)
tersebut memiliki ciri-ciri umum yang sama.
d. Teorema Konektivitas (Connectivity Theorem)
Di dalam teorema
konektivitas disebutkan bahwa setiap konsep, setiap prinsip, dan setiap
keterampilan dalam matematika berhubungan dengan konsep-konsep,
prinsip-prinsip, dan keterampilan-keterampilan yang lain.
Adanya hubungan antara
konsep-konsep, prinsip-prinsip dan keterampilan-keterampilan itu
menyebabkan struktur dari setiap cabang matematika menjadi jelas. Adanya
hubungan-hubungan itu juga membantu guru dan pihak-pihak lain (misalnya
penyusun kurikulum, penulis buku, dan lain-lain) dalam upaya untuk menyusun
program pembelajaran bagi siswa.
Dalam pembelajaran
matematika, tugas guru bukan hanya membantu siswa dalam memahami konsep-konsep
dan prinsip-prinsip serta memiliki keterampilan-keterampilan tertentu, tetapi
juga membantu siswa dalam memahami hubungan antara konsep-konsep,
prinsip-prinsip, dan keterampilan–keterampilan tersebut. Dengan memahami
hubungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lain dari matematika,
pemahaman siswa terhadap struktur dan isi dari matematika menjadi lebih utuh.
Perlu dijelaskan bahwa
keempat teorema tersebut di atas tidak dimaksudkan untuk diterapkan satu per
satu dengan urutan seperti di atas. Dalam penerapan (implementasi), dua teorema
atau lebih dapat diterapkan secara bersama dalam proses pembelajaran sesuatu
materi matematika tertentu. Hal tersebut bergantung pada karakteristik dari
materi atau topik matematika yang dipelajari dan karakteristik dari siswa yang
belajar.
Sumber
Labels:
Serba-serbi
Thanks for reading Teori Bruner. Please share...!